Fisika kuantum telah lama menjadi bidang ilmu yang penuh misteri dan paradoks. Di antara banyak teori yang lahir darinya, konsep multiverse atau alam semesta jamak merupakan salah satu yang paling menarik perhatian ilmuwan dan masyarakat umum. Teori ini menyatakan bahwa setiap peristiwa, setiap keputusan, bahkan setiap partikel, dapat menghasilkan dunia paralel baru. Meskipun terdengar seperti fiksi ilmiah, beberapa eksperimen fisika kuantum benar-benar memberikan indikasi ilmiah yang mengarah pada kemungkinan multiverse.
Fisika kuantum mempelajari perilaku partikel pada skala subatomik — dunia yang diatur oleh probabilitas, bukan kepastian.
Berbeda dengan fisika klasik yang menjelaskan realitas secara deterministik, mekanika kuantum menunjukkan bahwa partikel bisa berada dalam dua keadaan sekaligus (superposisi) hingga diamati.
Fenomena inilah yang melahirkan ide “Many Worlds Interpretation” (MWI) dari Hugh Everett III pada tahun 1957. Menurutnya, setiap kali pengukuran dilakukan, alam semesta “terbelah” menjadi dua atau lebih versi realitas di mana semua kemungkinan hasil terjadi secara bersamaan.
Eksperimen double-slit (dua celah) pertama kali dilakukan oleh Thomas Young pada abad ke-19 untuk membuktikan sifat gelombang cahaya. Namun, ketika percobaan ini diulang menggunakan elektron tunggal, hasilnya mengguncang dunia sains.
Jika tidak diamati, partikel bertindak seperti gelombang dan menghasilkan pola interferensi. Namun ketika pengamat melihatnya, pola tersebut berubah seolah-olah partikel “mengetahui” sedang diawasi.
Fenomena ini disebut “collapse of the wave function”, dan Everett menafsirkan bahwa semua kemungkinan hasil sebenarnya terjadi — hanya saja di alam semesta paralel yang berbeda. Dengan kata lain, dalam satu dunia elektron melewati celah kiri, sementara di dunia lain ia melewati celah kanan.
Fisikawan Erwin Schrödinger mencoba menjelaskan absurditas dunia kuantum dengan eksperimen imajiner yang kini sangat terkenal: “Kucing Schrödinger”.
Ia membayangkan seekor kucing dimasukkan ke dalam kotak tertutup bersama partikel radioaktif yang bisa meluruh sewaktu-waktu dan memicu racun.
Menurut hukum kuantum, sebelum kotak dibuka, partikel tersebut berada dalam superposisi — artinya, kucing hidup dan mati secara bersamaan.
Dalam pandangan Many Worlds Interpretation, kedua keadaan itu benar-benar terjadi di alam semesta berbeda: satu dunia di mana kucing hidup, dan satu lagi di mana ia mati.
Eksperimen ini menunjukkan bahwa realitas mungkin tidak tunggal, tetapi bercabang ke berbagai kemungkinan yang semuanya nyata di level kuantum.
Konsep entanglement atau keterikatan kuantum menunjukkan bahwa dua partikel bisa saling terhubung secara instan, bahkan ketika dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh.
Ketika satu partikel diukur, partikel pasangannya langsung menyesuaikan diri, seolah-olah berkomunikasi lebih cepat dari cahaya.
Albert Einstein menyebut fenomena ini sebagai “spooky action at a distance” (aksi menyeramkan dari kejauhan).
Bagi sebagian fisikawan seperti David Deutsch, keterikatan ini bisa menjadi bukti bahwa informasi kuantum berpindah melalui dimensi lain, yaitu antar-alam semesta paralel dalam multiverse.
Eksperimen Delayed Choice Quantum Eraser yang dilakukan oleh fisikawan John Archibald Wheeler pada akhir abad ke-20 semakin memperkuat paradoks multiverse.
Dalam percobaan ini, keputusan untuk “mengamati” partikel dilakukan setelah partikel melewati celah. Ajaibnya, hasil pengamatan tetap memengaruhi masa lalu partikel itu.
Artinya, realitas masa lalu bisa berubah tergantung pada tindakan di masa kini, sesuatu yang secara logika tidak mungkin terjadi di dunia klasik.
Interpretasi multiverse menyatakan bahwa semua kemungkinan hasil tetap eksis di alam semesta berbeda, dan “pilihan pengamatan” kita menentukan cabang realitas mana yang kita alami.
Dalam dekade terakhir, ilmuwan telah berhasil memperluas prinsip kuantum ke objek yang lebih besar, bahkan hingga ke skala mikroskopik.
Eksperimen menggunakan ion terperangkap, foton, dan qubit dalam komputer kuantum menunjukkan bahwa partikel dapat tetap berada dalam superposisi hingga diamati.
Teknologi komputer kuantum sendiri secara konseptual memanfaatkan “perhitungan paralel” di berbagai kemungkinan realitas kuantum secara bersamaan — seolah-olah mesin ini bekerja dengan bantuan multiverse mikroskopik.
Semakin dalam penelitian kuantum dilakukan, semakin banyak indikasi bahwa alam semesta kita mungkin hanyalah satu dari banyak kemungkinan realitas yang bekerja berdampingan.
Meskipun teori multiverse memiliki daya tarik besar, banyak fisikawan tetap skeptis karena belum ada bukti empiris langsung.
Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa multiverse hanyalah model matematis untuk menjelaskan paradoks kuantum, bukan kenyataan fisik.
Namun demikian, perkembangan teknologi observasi dan eksperimen terus membuka peluang untuk menguji teori ini lebih jauh — terutama dalam bidang kosmologi kuantum dan filsafat fisika.
Eksperimen fisika kuantum seperti double-slit, entanglement, dan delayed choice telah menunjukkan bahwa realitas tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dunia subatomik berperilaku seolah-olah ada banyak versi kenyataan yang terjadi bersamaan — gagasan yang selaras dengan teori multiverse.
Meskipun belum terbukti secara pasti, konsep ini terus menantang batas pemikiran manusia tentang ruang, waktu, dan eksistensi.
Mungkin saja, di luar jangkauan persepsi kita, terdapat dunia paralel lain di mana keputusan dan kemungkinan yang berbeda sedang berlangsung — bayangan dari diri kita yang hidup dalam cabang realitas yang lain.